BUMMA Simahiyang Gelar Pelatihan Manajemen

Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Simahiyang melaksanakan kegiatan pelatihan manajemen untuk meningkatkan kapasitas kerja dan pengembangan sumber daya manusia di rumah AMAN Simahiyang, Kampung Santenwangi, Desa Dangiang, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari mulai 29 November hingga 1 Desember 2024 ini melibatkan wirausaha yang bergerak di bidang pelatihan dan bimbingan profesional, serta pengembangan organisasi dan masyarakat dari Bandung.

Pelatihan yang dibagi menjadi beberapa sesi pembahasan ini dipandu oleh Rifqi Abdul Hafidh dan Mifta Chuddin dari The Local Enabler Comprov.

Hari pertama, menggali potensi alam yang ada di komunitas. Di hari kedua, pembahasan  tahapan penyederhanaan target BUMMA. Hari ketiga, teknik pengambilan foto dan video untuk kebutuhan pemasaran produk, serta pemaparan mengenai schedule conten yang bisa dilakukukan oleh BUMMA Simahiyang ke depan.

Pengisian kanvas potensi ekonomi

Pembahasan setiap materi dikemas secara sederhana dan menarik. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, dimana masing-masing kelompok diberi tugas untuk menggambarkan peta wilayah secara sederhana lalu menuliskan potensi yang dimiliki di setiap titiknya.

Dalam paparannya di pelatihan, Mifta Chuddin menjelaskan pentingnya kerjasama antar anggota dalam sebuah organisasi. Apalagi, organisasi usaha cukup rentan terjadi kesalahpahaman.

“kita harus bisa membedakan makna dari kerja bersama atau sama-sama bekerja,” ungkapnya.

Menurut Mifta, jika nilai dari bekerjasama sudah terpenuhi, maka tidak akan ada lagi kalimat saling menyalahkan atau merasa benar dalam sebuah kelompok.

Sementara, Rifqi menekankan dalam usaha, kita harus memilki perhitungan yang jelas dan terukur. Dikatakannya, dalam hal ini kita bisa menggunakan metode hexaholix.

Rifqi menjelaskan penggunaan metode hexaholix ini bisa dilakukan dengan pola pendekatan kepada akademisi, bisnis, komunitas, media, pemerintah (Goverment) dan modal (Financial) atau dikenal dengan istilah ABCMGF.

Dewan AMAN Daerah Simahiyang Lia Lisnawati menyatakan pelatihan ini merupakan kegiatan perdana yang dilaksanakan di rumah AMAN Simahiyang. Lia bersyukur pelatihan manajemen perdana yang dilaksanakan oleh BUMMA Simahiyang ini diisi oleh para wirausaha profesional.

“Materi pelatihan yang disampaikan oleh para wirausaha profesional ini sangat bernilai sekali,  semoga bisa bermanfaat untuk kemajuan BUMMA Simahiyang ke depan,” kata Lia penuh harap.

Direktur Pengembangan Ekonomi dan Pengelolaan Sumberdaya Lestari PB AMAN, Feri Nur Octaviani menyatakan sangat mendukung pelaksanaan kegiatan pelatihan manajemen ini. Karenanya, sebut Feri, PB AMAN mendatangkan para ahli wirausaha dari Bandung untuk berbagi pengetahuan kepada komunitas Masyarakat Adat di Simahiyang.

“Semoga penyampaian materi yang disampaikan oleh para ahli wirausaha ini bisa menambah pengetahuan kawan-kawan di BUMMA Simahiyang,” kata Feri Nur Octaviani.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Simahiyang, Garut

Ritual Ngalungsur Geni Terganggu Limbah Sungai di Garut

Prosesi ritual di sungai cidangiang

Oleh Fujianti Nurjanah

Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi di desa Dangiang, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat beramai-ramai membuat nasi tumpeng putih dari rumah masing-masing. Tumpeng berukuran kecil itu selanjutnya mereka bawa untuk disimpan di depan joglo (rumah adat) untuk didoakan.

Nurhidayatullah, salah seorang tokoh Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi menyatakan mereka percaya tumpeng yang telah didoakan di joglo akan mendatangkan berkah. Namun, sebutnya, penyimpanan tumpeng yang mendatangkan keberkahan ini bukan bagian dari ritual tapi hanya keyakinan mereka saja.

“Jadi, kalau menyimpan tumpeng di joglo itu, Masyarakat Adat percaya nantinya tumpeng yang dimakan bisa membawa keberkahan dari doa,” terang Nurhidayatullah pada Kamis, 19 September 2024.

Ia menambahkan setelah penyimpanan tumpeng, biasanya pada malam harinya dilakukan ritual yang ditandai dengan kegiatan buka sejarah. Nurhidayatullah menyebut ritual ini dilaksanakan pada pukul 24.00 Wib.

“Buka sejarah hanya bisa dilaksanakan di jam 24.00 Wib pada malam sebelum ritual,” sebutnya.

Dikatakannya, butuh waktu dua jam untuk melaksanakan kegiatan buka sejarah ini. Selama berlangsungnya kegiatan ini, kuncen atau juru kunci biasanya akan membacakan sejarah Dangiang Batuwangi. Sejarah ini hanya bisa dibacakan di tengah malam dan hanya dihadiri oleh laki-laki.

Setelah pembacaan sejarah selesai, selanjutnya Masyarakat Adat langsung berangkat menuju makam para leluhur untuk meminta izin pelaksanaan ritual Ngumbah Keris.

“Ritual Ngumbah Keris ini biasa juga disebut Ngalungsur Geni,” terangnya.

Pagi harinya, Masyarakat Adat kembali berkumpul di joglo. Ditempat ini, mereka membuka peti yang berisi keris. Selanjutnya, keris tersebut dikeluarkan untuk dibawa bersama menuju Sungai Cidangiang sebagai tempat membersihkan keris tersebut.

Terganggu Limbah Sungai

Setelah sampai di sungai, Masyarakat Adat berjalan lebih jauh ke depan dari lokasi yang biasa digunakan untuk membersihkan keris. Hal itu dikarenakan di lokasi sebelumnya sudah dipenuhi sampah sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan ritual pembersihan keris.

Ketua Pengurus Pelaksana Harian PD AMAN Simahiang, Dadang Budiman prihatin terhadap kondisi sungai yang sudah tercemar sampah. Akibatnya, prosesi pembersihan keris berpindah ke lokasi lain.

“Kita terpaksa pindah ke lokasi lain karena tidak mungkin benda pusaka ini di bersihkan di sungai yang sudah tercemar dengan air berbau sampah,” ungkapnya.

Menurutnya memaksakan pembersihan keris pusaka di lokasi yang sudah tercemar tidak bagus, apalagi Masyarakat Adat nantinya akan menggunakan air hasil basuhan keris untuk berbagai keperluan.

“Masyarakat Adat ada yang mandi, cuci muka bahkan meminum air dari hasil basuhan keris. Tidak mungkin mereka melakukan aktivitas tersebut dengan air yang tercemar,” imbuhnya.

Saat sudah menemukan tempat yang sesuai, barulah ritual pembersihan keris dilaksanakan. Dimulai dengan membakar kemenyan yang tujuannya sebagai bentuk tolak bala. Kemudian, masing-masing kuncen atau juru kunci memegang keris yang di celupkan ke dalam air sungai disertai dengan bacaan doa. Saat keris diangkat dari dalam air, Masyarakat Adat langsung bergantian meminta air yang mengalir dari keris tersebut untuk diusapkan ke kepala masing-masing.

“Sulit mengusapkan air hasil basuhan keris ke masing-masing masyarakat. Jadi, saya menaruh keris tersebut di air sehingga masyarakat bisa langsung menggunakan air yang mengalir tersebut,” ungkap Entang Ahmad Fauzi, juru kunci Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi.

Entang menambahkan setelah pembersihan keris selesai, keris kemudian dimasukan kembali ke dalam peti dan dibawa kembali oleh Masyarakat Adat untuk di simpan kembali di joglo.

Berharap Keberkatan

Biasanya setelah keris dibersihkan dan disimpan, jelasnya, banyak masyarakat yang saling menyipratkan air, mandi, bahkan mengambil air untuk dimasukkan ke dalam botol untuk keperluan lain di rumah.

Entang menjelaskan air hasil basuhan keris tersebut diyakini memiliki keberkahan karena sebelumnya telah didoakan bersamaan dengan keris pusaka.

“Ini bukan tindakan penuhanan kepada benda (musyrik). Namun, merupakan ungkapan rasa terimakasih dan pengharapan keberkahan kepada pemilik keris yaitu Tuhan pemilik semesta alam,” ujarnya.

Entang menerangkan setelah proses pembersihan keris selesai dilakukan, Masyarakat Adat kembali berkumpul di joglo untuk menutup semua rangkaian ritual dengan doa. Selesai berdoa, Masyarakat Adat kemudian membawa kembali tumpeng yang disimpan di depan joglo. Sebagian ada yang langsung memakannya ditempat secara bersama-sama, ada pula yang memilih untuk membawa pulang tumpeng untuk dibagikan dengan keluarga.

Merawat Tradisi “Terbang Sejak” di Kampung Dukuh

Oleh Muhamad Fauzi

Lima orang Masyarakat Adat Kampung Dukuh sedang menampilkan seni tradisi Terbang Sejak. Satu orang melakukan atraksi menggunakan golok sambil membaca ilmu-ilmu dukuh, sementara empat orang lainnya mengiringi dengan alat musik.

Tradisi yang populer untuk menyambut tamu yang dihormati oleh masyarakat ini sudah berumur 100 tahun. Selain menyambut tamu, tradisi Terbang Sejak ini juga biasa digunakan sebagai hiburan untuk acara kawinan dan khitanan (sunatan).

Khusus di acara khitanan, Terbang Sejak dimainkan dengan maksud agar anak kecil yang telah dikhitan tidak mengeluarkan darah.

Terbang Sejak adalah seni tradisi Kampung Dukuh di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Jawa Barat. Beberapa pendirinya sudah masuk tiga generasi.

Generasi pertama Aki Iyin (kakek Iyin), generasi kedua Aki Ahromi (kakek Ahromi), generasi ketiga yang merupakan generasi penerus sekaligus pelestari adalah Abah Yayan.

Abah Yayan menjelaskan tradisi Terbang Sejak ini sudah hidup dan berkembang di Kampung Dukuh sejak abad ke-17. Dalam perkembangannya, tradisi Terbang Sejak kurang begitu mendapat perhatian dari masyarakat di luar Kampung Dukuh.

Tradisi ini hanya berkembang di wilayah Kampung Dukuh saja. Awalnya, tradisi Terbang Sejak hanya dilakukan untuk melakukan puji-pujian dan doa-doa kepada Yang Maha Kuasa. Memasuki awal abad ke-19, tradisi Terbang Sejak mendapat perhatian dari Aki Sanukri. Beliau mengembangkan Terbang Sejak menjadi sebuah seni hiburan rakyat.

“Sejak itu, tradisi Terbang Sejak ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tidak hanya dikenal oleh masyarakat kampung adat Dukuh, tapi tradisi ini juga dikenal hampir di seluruh wilayah Kabupaten Garut,” terangnya.

Guru Sekolah Adat Kampung Dukuh Bidang Kesenian dan Tradisi, Yayan Hermawan menyatakan seni tradisi Terbang Sejak pertama kali diperlihatkan di Kampung Dukuh.

“Hingga kini, umur seni tradisi Terbang Sejak ini sudah hampir 100 tahun lebih,” ujarnya di Kampung Dukuh pada Senin, 19 Agustus 2024.

Yayan Hermawan menjelaskan cara yang dilakukan untuk memainkan Terbang Sejak ini harus ada ritual, karena dibarengi dengan atraksi golok tajam agar lebih semarak. Yayan menambahkan untuk memainkan tradisi ini diperlukan empat alat tradisional yaitu Kempring, Pangais, Bangsring dan Dogdog Pangrewong. Dikatakannya, seni tradisi Terbang Sejak tidak bisa dimainkan sendiri, melainkan harus dimainkan secara berkelompok.

Yayan menerangkan seni tradisi ini merupakan warisa budaya dari nenek moyang mereka sehingga mereka memiliki tanggungjawab untuk mengurus dan melestarikannya.

“Kewajiban kami untuk melestarikan tradisi ini agar tradisi ini terus berkembang dan terjaga,” ungkapnya.

Kampung Dukuh

Kampung Dukuh merupakan kampung adat terbesar di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Kampung yang memiliki pola hidup sederhana ini hanya berjarak sekitar 100 km dari Kota Garut.

Masyarakat Adat Kampung Dukuh sangat teguh memegang adat dan tradisi leluhurnya. Dalam keseharian,  Masyakarat Adat Dukuh hidup dari hasil bertani dan beternak.

Kehidupan mereka melandaskan pada sebuah falsafah yang dikenal dengan nama Elmu Dukuh. Falsafah ini merupakan warisan yang diperoleh secara turun temurun dan hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu.

Dalam falsafah Elmu Dukuh, termuat berbagai aturan yang mengatur Masyarakat Adat Dukuh harus bersikap terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh atau tidak boleh digunakan.

Ada beberapa aturan yang mengikat kehidupan Masyarakat Adat Kampung Dukuh, diantaranya :

dilarang selonjoran kaki ke arah makam yang dianggap keramat oleh mereka, dilarang berdua-duaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim, dilarang makan sambil berdiri, apalagi menggunakan tangan kiri.

Selain aturan tersebut, ada juga larangan khusus meliputi Pacaduan Kampung  yaitu larangan yang berhubungan dengan kampung, Pacaduan Makom  yaitu larangan yang berhubungan dengan makam, dan Pacaduan Leuweung  yaitu larangan yang berhubungan dengan hutan.

Larangan Kampung mengatur bentuk rumah dan isinya. Larangan Makam mengatur tata cara ziarah ke makam. Sementara, Larangan Hutan mengatur pemeliharaan dan pelestarian hutan.

AMAN Simahiyang Berencana Dirikan Sekolah Adat di Sancang dan Kampung Dukuh

Setelah berhasil mendirikan Sekolah Adat Dangiang Batuwangi tahun 2021, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Simahiyang kembali berencana mendirikan Sekolah Adat di komunitas adat Sancang dan Kampung Dukuh.

Rencana ini telah dibahas di awal tahun 2024 oleh PD AMAN Simahiyang. Pembahasan dilakukan di Kampung Dukuh, Garut pada 5 Januari 2024. Kegiatan yang dilaksanakan di kediaman Abah Yayan ini dihadiri tujuh orang anggota Pengasuh Sekolah Adat Dangiang Batuwangi yaitu Dudu, Siti Rubaiah, Nunur, Jajam, Dadang, Lia, dan Tina. Kemudian, dua orang aparat desa selaku Ketua Adat Kampung Dukuh, dan RT RW setempat.

Setelah membahas pendirian sekolah adat di Kampung Dukuh selesai, pembahasan dilanjutkan tentang perluasan pembentukan sekolah adat di Sancang pada 6 Januari 2024. Pembahasan ini turut dihadiri oleh pengasuh sekolah adat Dangiang Batuwangi dan beberapa tokoh adat setempat lainnya. Kegiatan ini dilaksanakan di sebuah villa Sancang yang direncanakan akan menjadi tempat berlangsungnya kegiatan sekolah adat.

Dadang, salah seorang pengasuh Sekolah Adat Dangiang Batuwangi menyatakan program dan sistem pelaksanaan kegiatan sekolah adat di kampung Dukuh dan Sancang akan mengikuti sekolah adat Dangiang Batuwangi.

Dikatakannya, Masyarakat Adat setempat tentunya akan senang dengan dibentuknya sekolah adat ini. Sebab, mereka khawatir budaya dan sejarah adat ditempat mereka tinggal sudah mulai terkikis.

“Adanya sekolah adat ini bisa mengurangi kecemasan tersebut,” kata Dadang belum lama ini.

Dudu, pengasuh sekolah adat Dangiang Batuwangi lainnya menambahkan pentingnya sekolah adat ini tidak hanya untuk menggali budaya leluhur, namun sekolah adat ini juga perlu dibentuk untuk mengajari pola kehidupan Masyarakat Adat dari sisi ekonomi maupun kesehatan.

Dudu menjelaskan setelah pembentukan kedua sekolah adat tersebut, selanjutnya direncanakan pertemuan kembali untuk membuat kurikulum yang lebih jelas dan akurat bagi sekolah adat Simahiyang.

“Kalau dihitung, sudah ada tiga sekolah adat yang dibentuk di Simahiyang. Namun, kurikulum serta pengaturan bahan ajar masih kurang,” katanya sembari menambahkan kedepannya akan kembali dilaksanakan diskusi yang membahas kurikulum demi keberlangsungan sekolah adat di Simahiyang.

Selain membahas pembentukan sekolah adat, pertemuan yang berlangsung secara simultan ini juga menghasilkan rencana pengembangan Kelompok Usaha Milik Masyarakat Adat (KUMMA) di Kampung Dukuh. KUMMA Kampung Dukuh merupakan organisasi usaha yang bernaung dibawah BUMMA Simahiyang.

Dudu menjelaskan pembentukan KUMMA di Kampung Adat Dukuh ini menjadi awal dari perkembangan ekonomi masyarakat sekitar. KUMMA ini tidak hanya mengurusi satu produk saja, namun bisa dari berbagai hasil alam dan sumber daya alam yang ada di sekitar kampung Dukuh.

“Justru ini dirasa jadi lebih mudah dan menguntungkan,” ungkapnya.

oleh : Fuji Jannah

BUMMA Simahiyang Garap Kopi Khas Garut

 

Oleh : Fuji Jannah

Selain terkenal dengan kota dodol, Garut yang merupakan sebuah wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat juga cukup terkenal dengan kopinya.

Berdasarkan hasil sensus pertanian oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kopi merupakan satu di antara tiga tanaman tahunan paling banyak diusahakan petani di Garut. Luas pohon kopi yang ditanam juga hampir menyaingi luas perkebunan teh di Kabupaten Garut.

Salah satu wilayah yang terdampak oleh perkembangan usaha tani kopi ini adalah Desa Dangiang, Kecamatan Banjarwangi.

Desa ini ditempati oleh komunitas adat Batuwangi. Mereka “menyulap” desa ini menjadi ladang perkebunan kopi. Tak pelak, desa ini pun  menjadi magnet lapangan pekerjaan bagi beberapa orang pengurus Masyarakat Adat.

Kelompok tani Batuwangi sudah mulai memproduksi kopi sejak tahun 2020. Selama hampir 3 tahun, kelompok tani ini sudah memproduksi 2 jenis kopi yaitu Arabica dan Robusta. Adapun dari dua jenis kopi natural tersebut, terdapat dua jenis varian lain yaitu honey dan full wash.

Pembeda dari jenis varian tersebut adalah cara pengolahan sebelum proses penjemuran. Natural menjadi varian yang paling cepat dalam proses pengolahannya. Hal ini karena setelah di sortir dengan cara perambangan, varian ini langsung direndam selama 2 – 3 hari. Kemudian, di jemur beserta dengan kulitnya selama 3 – 4 minggu di cuaca panas.

Berbeda dengan Varian Fullwash dan Honey yang melalui proses pengupasan basah dan kering sebelum penjemuran, ditambah dengan lama waktu perendaman kopi yang lebih singkat dari variasi Natural.

Dibawah naungan BUMMA

Kegiatan usaha kopi yang dijalankan kelompok tani Batuwangi berada dibawah naungan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA). Ada 20 orang anggotanya, yang dibagi menjadi dua bagian yakni 10 orang menjadi pengurus dalam produksi dan pemasaran kopi, sementara 10 orang lainnya menjadi pengurus dalam produksi dan pemasaran gula semut.

Ketua BUMMA Simahiyang, Jajam Nurjaman menyatakan produksi kopi yang sudah berhasil dijual oleh kelompok tani ini sebanyak 10 – 30 kg kopi kering berbagai jenis dan varian per bulan. Dikatakannya, pemasaran kopinya bekerjasama dengan petani kopi lain. Sebab,  jumlah produksi kopi kelompok tani yang terkadang kurang dibandingkan dengan daya beli konsumen.

“Kelompok tani ini masih menggunakan media sosial sebagai sarana untuk memperluas pangsa pasar,” kata Jajam Nurjaman.

Ia menyebut kopi olahan kelompok tani ini djual dengan berbagai ukuran yang telah dikemas cantik. Harganya dijual sesuai ukuran, misalnya Rp 30.000 untuk 100gr.

Jajam menjelaskan kopi Garut punya ciri khas tersendiri. Aromanya sangat istimewa. Warna kopinya juga cenderung lebih hitam pekat.

“Soal rasa kopi Garut, jangan ditanya. Silahkan coba sendiri,” kata Jajam

sembari menambahkan selain memproduksi kopi, BUMMA Simahiyang juga menerima produksi kekayaan alam lain seperti kapolaga, cengkeh dan bahan olahan lainnya seperti aneka keripik dan opak.

Pagelaran Lawung Budaya Tandai Penutupan Sekolah Lapangan Kearifan Lokal di Garut

Sebanyak 500 orang peserta menghadiri penutupan kegiatan Sekolah Lapangan Kearifan Lokal (SLKL) yang ditandai dengan pagelaran Lawung Budaya Masyarakat Adat di Kampung Adat Dukuh, Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelat, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Lawung Budaya dilaksanakan selama tiga hari mulai 8-10 November 2023. Kegiatan yang menjadi program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) ini diikuti oleh enam komunitas Masyarakat Adat dari kampung adat Dukuh, kampung Kuta Ciamis, Kampung Naga, Kasepuhan Gelar Alam, Kasepuhan Sinar Resmi dan Kasepuhan Cipta Mulya.

Kegiatan ini turut dihadiri Dewan AMAN Nasional region Jawa Henriana Hatra atau yang akrab disapa Kang Noci dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut Agus Ismail.

Ketua PH AMAN Simahiang, Abah Yayan menyatakan Sekolah Lapangan Kearifan Lokal (SLKL) ini merupakan program yang diadakan oleh Kemendikbudristek. Melalui program ini, katanya, generasi muda diharapkan dapat mengenal lebih dalam mengenai kebudayaannya. Selain itu, program ini juga dapat mengurangi kekhawatiran para sesepuh adat terkait penerus kebudayaan di daerahnya.

Abah Yayan menyatakan program SLKL ini cukup bermanfaat bagi Masyarakat Adat. Karenanya, sebut Abah, banyak harapan yang tertuang dari anggota komunitas Masyarakat Adat agar kegiatan ini bisa menjadi kegiatan rutin yang dilakukan oleh Kemendikbudristek. Tidak hanya menjadi kegiatan yang hanya dilaksanakan sekali ini saja.

“Ah ari kahoyong mah kegiatan kieu teh tiasa di ayakeun rutinan, tiap sataun sakali. Jadi meh langkung seeur anu apal oge kana kabudayaan – kabudayaan daerah,” kata Abah Yayan dalam bahasa daerah yang artinya “Besar harapan kegiatan ini bisa menjadi kegiatan rutin tahunan. Agar semakin meningkatnya orang yang mengetahui kebudayaan – kebudayaan daerah”.

Lawung Budaya

Abah mengatakan akhir dari rangkaian program SLKL telah dilaksanakan pagelaran Lawung Budaya yang berlangsung selama tiga hari mulai 8 – 10 November 2023.

Dalam pelaksanaanya, pagelaran Lawung Budaya banyak menampilkan keragaman budaya dari masing-masing komunitas, salah satunya pertunjukan Gambang dan Karinding dari Kampung Adat Naga, pertunjukan angklung dari Lasepuhan Sinar Resmi, pertunjukan Gembyung dari Kampung Adat Kuta, pertunjukan Jipeng dari Kasepuhan Cipta Mulya, pertunjukan silat serta pertunjukan Tarebang Sejak dan Debus dari Kampung Adat Dukuh.

Abah Yayan menerangkan Lawung Budaya tidak hanya menampilkan pertunjukan adat, namun juga menampilkan berbagai kesenian lain berupa olahraga tradisional, permainan rakyat, bahasa dan ritus. Kegiatan ini ditutup dengan pengumuman juara lomba tumpeng dan kaulinan.

“Kita bersyukur, kegiatan Lawung Budaya ini telah sukses terlaksana,” ujarnya sembari menerangkan Lawung Budaya ini salah satu bentuk kegiatan untuk mengumpulkan komunitas Masyarakat Adat. Lawung sendiri artinya ikat kepala, yang berarti mengingat tali silaturahmi Masyarakat Adat.

Padil, salah seorang pandu budaya Kampung Adat Dukuh menyatakan selain merupakan rangkaian akhir dari SLKL, kegiatan Lawung Budaya ini juga memiliki tujuan untuk mempererat tali silaturahmi antar beberapa kampung adat di Garut.

“Janten hasil Sekolah Kearifan Lokal (SLKL) anu aya di kampung adat dukuh. Eta buktosna teh aya kegiatan lawung budaya keur ngaeratkeun silaturahmi kampung adat khususna di garut selatan,” kata Padil dalam bahasa daerah yang artinya “Jadi hasil Sekolah Kearifan Lokal yang dilaksanakan di Kampung Adat Dukuh, dibuktikan dengan adanya kegiatan Lawung Budaya untuk mengeratkan silaturahmi antar Kampung Adat, khususnya di daerah Garut Selatan.

Oleh : Fuji Jannah

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Simahiyang, Jawa Barat